This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 22 Januari 2014

Sejarah kerajaan Mataram



Sejarah Kerajaan Mataram Kuno, Dinasti Beserta Raja Nya

a. Berdirinya Kerajaan Mataram Kuno

Pada abad ke-8 di pedalaman Jawa Tengah berdiri Kerajaan Mataram Hindu. Pendirinya adalah Raja Sanjaya. Munculnya Kerajaan Mataram diterangkan dalam Carita Parahyangan. Kisahnya adalah dahulu ada sebuah kerajaan di Jawa Barat bernama Galuh. 

Rajanya bernama Sanna (Sena). Suatu ketika, ia diserang oleh saudaranya yang menghendaki takhta. Raja Sanna meninggal dalam peristiwa tersebut, sementara saudara perempuannya, Sannaha, bersama keluarga raja yang lainnya berhasil melarikan diri ke lereng Gunung Merapi. 

Anak Sannaha, Sanjaya, di kemudian hari mendirikan Kerajaan Mataram dengan ibu kota Medang ri Poh Pitu. Tepatnya pada tahun 717 M.

b. Bukti-bukti sejarah Kerajaan Mataram Kuno

Bukti lain mengenai keberadaan Kerajaan Mataram Hindu atau sering juga disebut Mataram Kuno adalah prasasti Canggal yang dikeluarkan oleh Sanjaya. Prasasti ini berangka tahun Cruti Indria Rasa atau 654 Saka (1 Saka sama dengan 78 Masehi, berarti 654 Saka sama dengan 732 M), hurufnya Pallawa, bahasanya Sanskerta, dan letaknya di Gunung Wukir, sebelah selatan Muntilan. 

Isinya adalah pada tahun tersebut Sanjaya mendirikan lingga di Bukit Stirangga untuk keselamatan rakyatnya dan pemujaan terhadap Syiwa, Brahma, dan Wisnu, di daerah suci Kunjarakunja. Menurut para ahli sejarah, yang dimaksud Bukit Stirangga adalah Gunung Wukir dan yang dimaksud Kunjarakunja adalah Sleman (kunjara = gajah = leman; kunja = hutan). Lingga adalah simbol yang menggambarkan kekuasaan, kekuatan, pemerintahan, lakilaki, dan dewa Syiwa.

c. Pemerintahan wangsa Sanjaya

Raja-raja wangsa Sanjaya, seperti dimuat dalam prasasti Mantyasih (Kedu), sebagai berikut.

1) Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (717 – 746 M) 
Raja ini adalah pendiri Kerajaan Mataram sekaligus pendiri wangsa Sanjaya. Setelah wafat, ia digantikan oleh Rakai Panangkaran.

2) Sri Maharaja Rakai Panangkaran (746 – 784 M)
Dalam prasasti Kalasan (778 M) diceritakan bahwa Rakai Panangkaran (yang dipersamakan dengan Panamkaran Pancapana) mendirikan candi Kalasan untuk memuja Dewi Tara, istri Bodhisatwa Gautama, dan candi Sari untuk dijadikan wihara bagi umat Buddha atas permintaan Raja Wisnu dari dinasti Syailendra. 

Ini menunjukkan bahwa pada masa pemerintahan raja ini datanglah dinasti Syailendra dipimpin rajanya, Bhanu (yang kemudian digantikan Wisnu), dan menyerang wangsa Sanjaya hingga melarikan diri ke Dieng, Wonosobo. Selain itu, Raja Panangkaran juga dipaksa mengubah kepercayaannya dari Hindu ke Buddha. Adapun penerus wangsa Sanjaya setelah Panangkaran tetap beragama Hindu.

3) Sri Maharaja Rakai Panunggalan (784 – 803 M)

4) Sri Maharaja Rakai Warak (803 – 827 M)
Dua raja ini tidak memiliki peran yang berarti, mungkin karena kurang cakap dalam memerintah sehingga dimanfaatkan oleh dinasti Syailendra untuk berkuasa atas Mataram. Setelah Raja Warak turun takhta sebenarnya sempat digantikan seorang raja wanita, yaitu Dyah Gula (827 – 828 M), namun karena kedudukannya hanya bersifat sementara maka jarang ada sumber sejarah yang mengungkap peranannya atas Mataram Hindu.

5) Sri Maharaja Rakai Garung (828 – 847 M)
Raja ini beristana di Dieng, Wonosobo. Ia mengeluarkan prasasti Pengging (819 M) di mana nama Garung disamakan dengan Patapan Puplar (mengenai Patapan Puplar diceritakan dalam prasasti Karang Tengah – Gondosuli).

6) Sri Maharaja Rakai Pikatan (847 – 855 M)
Raja Pikatan berusaha keras mengangkat kembali kejayaan wangsa Sanjaya dalam masa pemerintahannya. Ia menggunakan nama Kumbhayoni dan Jatiningrat (Agastya). Beberapa sumber sejarah yang menyebutkan nama Pikatan sebagai berikut.

a) Prasasti Perot, berangka tahun 850 M, menyebutkan bahwa Pikatan adalah raja yang sebelumnya bergelar Patapan.
b) Prasasti Argopuro yang dikeluarkan Kayuwangi pada tahun 864 M.
c) Tulisan pada sebelah kanan dan kiri pintu masuk candi Plaosan menyebutkan nama Sri Maharaja Rakai Pikatan dan Sri Kahulunan. 

Diduga tulisan tersebut merupakan catatan perkawinan antara Rakai Pikatan dan Sri Kahulunan. Sri Kahulunan diduga adalah Pramodhawardhani, putri Samaratungga, dari dinasti Syailendra. Mengenai pernikahan mereka dikisahkan kembali dalam prasasti Karang Tengah.

Rakai Pikatan sendiri mengeluarkan tiga prasasti berikut.

1) Prasasti Pereng (862 M), isinya mengenai penghormatan kepada Syiwa dan
penghormatan kepada Kumbhayoni.

2) Prasasti Code D 28, berangka tahun Wulung Gunung Sang Wiku atau 778 Saka (856 M). Isinya adalah

(1) Jatiningrat (Pikatan) menyerahkan kekuasaan kepada putranya, Lokapala (Kayuwangi dalam prasasti Kedu);
(2) Pikatan mendirikan bangunan Syiwalaya (candi Syiwa), yang dimaksud adalah candi Prambanan;
(3) kisah peperangan antara Walaputra (Balaputradewa) melawan Jatiningrat (Pikatan) di mana Walaputra kalah dan lari ke Ungaran (Ratu Boko).

3) Prasasti Ratu Boko, berisi kisah pendirian tiga lingga sebagai tanda kemenangan.
Ketiga lingga yang dimaksud adalah Krttivasa Lingga (Syiwa sebagai petapa berpakaian kulit harimau), Tryambaka Lingga (Syiwa menghancurkan benteng Tripura yang dibuat raksasa), dan Hara Lingga (Syiwa sebagai dewa tertinggi atau paling berkuasa).

Sebagai raja, Pikatan berusaha menguasai seluruh Jawa Tengah, namun harus menghadapi wangsa Syailendra yang saat itu menjadi penguasa Mataram Buddha. Untuk itu, Pikatan menggunakan taktik menikahi Pramodhawardhani, putri Samaratungga, Raja Mataram dari dinasti Syailendra. Pernikahan ini memicu peperangan dengan Balaputradewa yang merasa berhak atas tahta Mataram sebagai putra Samaratungga. Balaputradewa kalah dan Rakai Pikatan menyatukan kembali kekuasaan Mataram di Jawa Tengah.

7) Sri Maharaja Kayuwangi (855 – 885 M)
Nama lain Sri Maharaja Kayuwangi adalah Lokapala. Ia mengeluarkan, antara lain, tiga prasasti berikut.

a) Prasasti Ngabean (879 M), ditemukan dekat Magelang. Prasasti ini terbuat dari tembaga.
b) Prasasti Surabaya, menyebutkan gelar Sajanotsawattungga untuk Kayuwangi.
c) Prasasti Argopuro (863 M), menyebutkan Rakai Pikatan pu Manuku berdampingan dengan nama Kayuwangi.

Dalam pemerintahannya, Kayuwangi dibantu oleh dewan penasihat merangkap staf pelaksana yang terdiri atas lima orang patih. Dewan penasihat ini diketuai seorang mahapatih.

8) Sri Maharaja Watuhumalang (894 – 898 M)
Masa pemerintahan Kayuwangi dan penerus-penerusnya sampai masa pemerintahan Dyah Balitung dipenuhi peperangan perebutan kekuasaan. Itu sebabnya, setelah Kayuwangi turun takhta, penggantinya tidak ada yang bertahan lama. 

Di antara raja-raja yang memerintah antara masa Kayuwangi dan Dyah Balitung yang tercatat dalam prasasti Kedu adalah Sri Maharaja Watuhumalang. Raja-raja sebelumnya, yaitu Dyah Taguras (885 M), Dyah Derendra (885 – 887 M), dan Rakai Gurunwangi (887 M) tidak tercatat dalam prasasti tersebut mungkin karena masa pemerintahannya terlalu singkat atau karena Balitung sendiri tidak mau mengakui kekuasaan mereka.

9) Sri Maharaja Watukura Dyah Balitung (898 – 913 M)
Raja ini dikenal sebagai raja Mataram yang terbesar. Ialah yang berhasil mempersatukan kembali Mataram dan memperluas kekuasaan dari Jawa Tengah sampai ke Jawa Timur. Dyah Balitung menggunakan beberapa nama:

a) Balitung Uttunggadewa (tercantum dalam prasasti Penampihan),
b) Rakai Watukura Dyah Balitung (tercantum dalam kitab Negarakertagama),
c) Dharmodaya Mahacambhu (tercantum dalam prasasti Kedu), dan
d) Rakai Galuh atau Rakai Halu (tercantum dalam prasasti Surabaya).

Prasasti-prasasti yang penting dari Balitung sebagai berikut.
a) Prasasti Penampihan di Kediri (898 M).
b) Prasasti Wonogiri (903 M).
c) Prasasti Mantyasih di Kedu (907 M).
d) Prasasti Djedung di Surabaya (910 M).

Sebenarnya, Balitung bukan pewaris takhta Kerajaan Mataram. Ia dapat naik takhta karena kegagahberaniannya dan karena perkawinannya dengan putri Raja Mataram. Selama masa pemerintahannya, Balitung sangat memerhatikan kesejahteraan rakyat, terutama dalam hal mata pencaharian, yaitu bercocok tanam, sehingga rakyat sangat menghormatinya.

Tiga jabatan penting yang berlaku pada masa pemerintahan Balitung adalah Rakryan i Hino (pejabat tertinggi di bawah raja), Rakryan i Halu, dan Rakryan i Sirikan. Ketiga jabatan itu merupakan tritunggal dan terus dipakai hingga zaman Kerajaan Majapahit.

Balitung digantikan oleh Sri Maharaja Daksa dan diteruskan oleh Sri Maharaja Tulodhong dan Sri Maharaja Wana. Namun, ketiga raja ini sangat lemah sehingga berakhirlah kekuasaan dinasti Sanjaya.

d. Pemerintahan dinasti Syailendra

Ketika Mataram diperintah oleh Panangkaran (wangsa Sanjaya), datanglah dinasti Syailendra ke Jawa. Ada beberapa pendapat mengenai asal-usul dinasti Syailendra ini. Dr. Majumdar, Nilakanta Sastri, dan Ir. Moens berpendapat bahwa dinasti Syailendra berasal dari India. Adapun Coedes berpendapat bahwa dinasti Syailendra berasal dari Funan.

Dinasti ini lalu berhasil mendesak wangsa Sanjaya menyingkir ke Pegunungan Dieng, Wonosobo, di wilayah Jawa Tengah bagian utara. Di sanalah wangsa Sanjaya kemudian memerintah. Sementara itu, dinasti Syailendra mendirikan Kerajaan Syailendra (Mataram Buddha) di wilayah sekitar Yogyakarta dan menguasai Jawa Tengah bagian selatan.

Sumber-sumber sejarah mengenai keberadaan dinasti Syailendra sebagai berikut.
1) Prasasti Kalasan (778 M)
2) Prasasti Kelurak (782 M)
3) Prasasti Ratu Boko (856 M)
4) Prasasti Nalanda (860 M)

Raja-raja dinasti Syailendra sebagai berikut.

1) Bhanu (752 – 775 M)
Bhanu berarti matahari. Ia adalah raja Syailendra yang pertama. Namanya disebutkan dalam prasasti yang ditemukan di Plumpungan (752 M), dekat Salatiga.

2) Wisnu (775 – 782 M)
Nama Wisnu disebutkan dalam beberapa prasasti.

a)      Prasasti Ligor B menyebutkan nama Wisnu yang dipersamakan dengan matahari, bulan, dan dewa Kama. Disebutkan pula gelar yang diberikan kepada Wisnu, yaitu
Syailendravamsaprabhunigadata Sri Maharaja, artinya pembunuh musuh yang gagah berani.

b) Prasasti Kalasan (778 M) menyebutkan desakan dinasti Syailendra terhadap Panangkaran.

c) Prasasti Ratu Boko (778 M) menyebutkan nama Raja Dharmatunggasraya.

3) Indra (782 – 812 M)
Raja Indra mengeluarkan prasasti Kelurak (782 M) yang menyebutkan pendirian patung Boddhisatwa Manjusri, yang mencakup Triratna (candi Lumbung), Vajradhatu (candi Sewu), dan Trimurti (candi Roro Jongrang). Setelah wafat, Raja Indra dimakamkan di candi Pawon. Nama lain candi ini adalah candi Brajanala atau Wrajanala. Wrajanala artinya petir yang menjadi senjata dewa Indra.

4) Samaratungga (812 – 832 M)
Raja ini adalah raja terakhir keturunan Syailendra yang memerintah di Mataram. Ia mengeluarkan prasasti Karang Tengah yang berangka tahun Rasa Segara Krtidhasa atau 746 Saka (824 M). Dalam prasasti tersebut disebutkan nama Samaratungga dan putrinya, Pramodhawardhani. Disebutkan pula mengenai pendirian bangunan Jimalaya (candi Prambanan) oleh Pramodhawardhani.

Nama Samaratungga juga disebutkan dalam prasasti Nalanda (860 M) yang menceritakan pendirian biara di Nalanda pada masa pemerintahan Raja Dewapaladewa (Kerajaan Pala, India). Pada masa pemerintahannya, Samaratungga membangun candi Borobudur yang merupakan candi besar agama Buddha. Samaratungga kemudian digantikan oleh Rakai Pikatan, suami Pramodhawardhani yang berasal dari wangsa Sanjaya. Kembalilah kekuasaan wangsa Sanjaya atas Mataram Kuno sepenuhnya.

e. Kehidupan ekonomi Kerajaan Mataram Kuno

Kerajaan Mataram Kuno merupakan negara agraris yang bersifat tertutup. Akibatnya, kerajaan ini sulit berkembang secara ekonomi, terutama karena segi perdagangan dan pelayaran sangat kering. Kejayaan baru diperoleh pada masa pemerintahan Balitung. Ia membangun pusat perdagangan seperti disebutkan dalam prasasti Purworejo (900 M). Dalam prasasti Wonogiri (903 M) diterangkan bahwa desa-desa yang terletak di kanan-kiri Sungai Bengawan Solo dibebaskan dari pajak dengan syarat penduduk desa tersebut harus menjamin kelancaran hubungan lalu lintas melalui sungai.

f. Kehidupan kebudayaan Kerajaan Mataram Kuno

Ketika wangsa Sanjaya menyingkir ke Pegunungan Dieng sejak masa Panangkaran hingga Rakai Pikatan, banyak didirikan candi yang kini dikenal sebagai kompleks candi Dieng. Kompleks candi ini, antara lain, terdiri atas candi Bimo, Puntadewa, Arjuna, dan Nakula. Adapun di Jawa Tengah bagian selatan ditemukan candi Prambanan (Roro Jonggrang), Sambi Sari, Ratu Boko, dan Gedung Songo (Ungaran) sebagai hasil budaya Mataram Kuno.

Selanjutnya Baca juga Materi 
Sejarah Kerajaan Medang Mataram, semoga bermanfaat.
Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (Bahasa Jawa: Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo, lahir: Kutagede, Kesultanan Mataram, 1593 - wafat: Karta (Plered, Bantul), Kesultanan Mataram, 1645) adalah Sultan ke-tiga Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645. Di bawah kepemimpinannya, Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara pada saat itu.
Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung telah ditetapkan menjadi pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975.

Silsilah keluarga

Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau terkenal pula dengan sebutan Raden Mas Rangsang. Merupakan putra dari pasangan Prabu Hanyakrawati dan Ratu Mas Adi Dyah Banawati. Ayahnya adalah raja kedua Mataram, sedangkan ibunya adalah putri Pangeran Benawa raja Pajang.
Versi lain mengatakan, Sultan Agung adalah putra Pangeran Purbaya (kakak Prabu Hanyakrawati). Konon waktu itu, Pangeran Purbaya menukar bayi yang dilahirkan istrinya dengan bayi yang dilahirkan Dyah Banawati. Versi ini adalah pendapat minoritas sebagian masyarakat Jawa yang kebenarannya perlu untuk dibuktikan.
Sebagaimana umumnya raja-raja Mataram, Sultan Agung memiliki dua orang permaisuri utama. Yang menjadi Ratu Kulon adalah putri sultan Cirebon, melahirkan Raden Mas Syahwawrat atau "Pangeran Alit". Sedangkan yang menjadi Ratu Wetan adalah putri Adipati Batang (cucu Ki Juru Martani) yang melahirkan Raden Mas Sayidin (kelak menjadi Amangkurat I).

Gelar yang Dipakai

Pada awal pemerintahannya, Raden Mas Rangsang bergelar "Panembahan Hanyakrakusuma" atau "Prabu Pandita Hanyakrakusuma". Kemudian setelah menaklukkan Madura tahun 1624, ia mengganti gelarnya menjadi "Susuhunan Agung Hanyakrakusuma", atau disingkat "Sunan Agung Hanyakrakusuma".
Setelah 1640-an beliau menggunakan gelar "Sultan Agung Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman". Pada tahun 1641 Sunan Agung mendapatkan gelar bernuansa Arab. Gelar tersebut adalah "Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram", yang diperolehnya dari pemimpin Ka'bah di Makkah,
Untuk mudahnya, nama yang dipakai dalam artikel ini adalah nama yang paling lazim dan populer, yaitu "Sultan Agung".

Awal pemerintahan

Raden Mas Rangsang naik takhta pada tahun 1613 dalam usia 20 tahun menggantikan adiknya(beda ibu), Adipati Martapura, yang hanya menjadi Sultan Mataram selama satu hari. Sebenarnya secara teknis Raden Mas Rangsang adalah Sultan ke-empat Kesultanan Mataram, namun secara umum dianggap sebagai Sultan ke-tiga karena adiknya yang menderita tuna grahita diangkat hanya sebagai pemenuhan janji ayahnya, Panembahan Hanyakrawati kepada istrinya, Ratu Tulungayu. Setelah pengangkatannya menjadi sultan, dua tahun kemudian, patih senior Ki Juru Martani wafat karena usia tua, dan kedudukannya digantikan oleh Tumenggung Singaranu.
Ibu kota Mataram saat itu masih berada di Kota Gede. Pada tahun 1614 mulai dibangun istana baru di desa Karta, sekitar 5 km di sebelah barat daya Kota Gede, yang kelak mulai ditempati pada tahun 1618.
Saingan besar Mataram saat itu tetap Surabaya dan Banten. Pada tahun 1614 Sultan Agung mengirim pasukan menaklukkan sekutu Surabaya, yaitu Lumajang. Dalam perang di Sungai Andaka, Tumenggung Surantani dari Mataram tewas oleh Panji Pulangjiwa menantu Rangga Tohjiwa bupati Malang. Lalu Panji Pulangjiwa sendiri mati terjebak perangkap yang dipasang Tumenggung Alap-Alap.
Pada tahun 1615 Sultan Agung memimpin langsung penaklukan Wirasaba ibukota Majapahit (sekarang Mojoagung, Jombang). Pihak Surabaya mencoba membalas. Adipati Pajang juga berniat mengkhianati Mataram namun masih ragu-ragu untuk mengirim pasukan membantu Surabaya. Akibatnya, pasukan Surabaya dapat dihancurkan pihak Mataram pada Januari 1616 di desa Siwalan.
Kemenangan Sultan Agung berlanjut di Lasem dan Pasuruan tahun 1616. Kemudian pada tahun 1617 Pajang memberontak tapi dapat ditumpas. Adipati dan panglimanya (bernama Ki Tambakbaya) melarikan diri ke Surabaya.

Menaklukkan Surabaya

Pada tahun 1620 pasukan Mataram mulai mengepung kota Surabaya secara periodik. Sungai Mas dibendung untuk menghentikan suplai air, namun kota ini tetap mampu bertahan.
Sultan Agung kemudian mengirim Tumenggung Bahureksa (bupati Kendal) untuk menaklukkan Sukadana (Kalimantan sebelah barat daya) tahun 1622. Dikirim pula Ki Juru Kiting (putra Ki Juru Martani) untuk menaklukkan Madura tahun 1624. Pulau Madura yang semula terdiri atas banyak kadipaten kemudian disatukan di bawah pimpinan Pangeran Prasena yang bergelar Cakraningrat I.
Dengan direbutnya Sukadana dan Madura, posisi Surabaya menjadi lemah, karena suplai pangan terputus sama sekali. Kota ini akhirnya jatuh karena kelaparan pada tahun 1625, bukan karena pertempuran. Pemimpinnya yang bernama Pangeran Jayalengkara pun menyerah pada pihak Mataram yang dipimpin Tumenggung Mangun-oneng.
Beberapa waktu kemudian, Jayalengkara meninggal karena usia tua. Sementara putranya yang bernama Pangeran Pekik diasingkan ke Ampel. Surabaya pun resmi menjadi bawahan Mataram, dengan dipimpin oleh Tumenggung Sepanjang sebagai bupati.

Pasca penaklukan Surabaya

Setelah penaklukan Surabaya, keadaan Mataram belum juga tentram. Rakyat menderita akibat perang yang berkepanjangan. Sejak tahun 1625-1627 terjadi wabah penyakit melanda di berbagai daerah, yang menewaskan dua per tiga jumlah penduduknya.
Pada tahun 1627 terjadi pula pemberontakan Pati yang dipimpin oleh Adipati Pragola, sepupu Sultan Agung sendiri. Pemberontakan ini akhirnya dapat ditumpas namun dengan biaya yang sangat mahal.

Hubungan dengan VOC

Pada tahun 1614 VOC (yang saat itu masih bermarkas di Ambon) mengirim duta untuk mengajak Sultan Agung bekerja sama namun ditolak mentah-mentah. Pada tahun 1618 Mataram dilanda gagal panen akibat perang yang berlarut-larut melawan Surabaya. Meskipun demikian, Sultan Agung tetap menolak bekerja sama dengan VOC.
Pada tahun 1619 VOC berhasil merebut Jayakarta di bagian Barat pulau Jawa yang belum ditaklukkan Mataram, dan mengganti namanya menjadi Batavia. Markas mereka pun dipindah ke kota itu. Menyadari kekuatan bangsa Belanda tersebut, Sultan Agung mulai berpikir untuk memanfaatkan VOC dalam persaingan menghadapi Surabaya dan Banten.
Maka pada tahun 1621 Mataram mulai menjalin hubungan dengan VOC. Kedua pihak saling mengirim duta besar. Akan tetapi, VOC ternyata menolak membantu saat Mataram menyerang Surabaya. Akibatnya, hubungan diplomatik kedua pihak pun putus.

Menyerbu Batavia

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Serangan Besar di Batavia
"Serangan Besar di Batavia oleh Sultan Mataram" pada tahun 1628 (cetakan setelah 1680).[1] [2]
Sasaran Mataram berikutnya setelah Surabaya jatuh adalah Banten yang ada di ujung Barat pulau Jawa. Akan tetapi posisi Batavia yang menjadi penghalang perlu diatasi terlebih dahulu oleh Mataram.
Bulan April 1628 Kyai Rangga bupati Tegal dikirim sebagai duta ke Batavia untuk menyampaikan tawaran damai dengan syarat-syarat tertentu dari Mataram. Tawaran tersebut ditolak pihak VOC sehingga Sultan Agung memutuskan untuk menyatakan perang.
Maka, pada 27 Agustus 1628 pasukan Mataram dipimpin Tumenggung Bahureksa, bupati Kendal tiba di Batavia. Pasukan kedua tiba bulan Oktober dipimpin Pangeran Mandurareja (cucu Ki Juru Martani). Total semuanya adalah 10.000 prajurit. Perang besar terjadi di benteng Holandia. Pasukan Mataram mengalami kehancuran karena kurang perbekalan. Menanggapi kekalahan ini Sultan Agung bertindak tegas, pada bulan Desember 1628 ia mengirim algojo untuk menghukum mati Tumenggung Bahureksa dan Pangeran Mandurareja. Pihak VOC menemukan 744 mayat orang Jawa berserakan dan sebagian tanpa kepala.
Sultan Agung kembali menyerang Batavia untuk kedua kalinya pada tahun berikutnya. Pasukan pertama dipimpin Adipati Ukur berangkat pada bulan Mei 1629, sedangkan pasukan kedua dipimpin Adipati Juminah berangkat bulan Juni. Total semua 14.000 orang prajurit. Kegagalan serangan pertama diantisipasi dengan cara mendirikan lumbung-lumbung beras di Karawang dan Cirebon. Namun pihak VOC berhasil memusnahkan semuanya.
Walaupun kembali mengalami kekalahan, serangan kedua Sultan Agung berhasil membendung dan mengotori Sungai Ciliwung, yang mengakibatkan timbulnya wabah penyakit kolera melanda Batavia. Gubernur jenderal VOC yaitu J.P. Coen meninggal menjadi korban wabah tersebut.

Setelah kekalahan di Batavia

Sultan Agung pantang menyerah dalam perseteruannya dengan VOC Belanda. Ia mencoba menjalin hubungan dengan pasukan Kerajaan Portugis untuk bersama-sama menghancurkan VOC. Namun hubungan kemudian diputus tahun 1635 karena ia menyadari posisi Portugis saat itu sudah lemah.
Kekalahan di Batavia menyebabkan daerah-daerah bawahan Mataram berani memberontak untuk merdeka. Diawali dengan pemberontakan para ulama Tembayat yang berhasil ditumpas pada tahun 1630. Kemudian Sumedang dan Ukur memberontak tahun 1631. Sultan Cirebon yang masih setia berhasil memadamkan pemberontakan Sumedang tahun 1632.
Pemberontakan-pemberontakan masih berlanjut dengan munculnya pemberontakan Giri Kedaton yang tidak mau tunduk kepada Mataram. Karena pasukan Mataram merasa segan menyerbu pasukan Giri Kedaton yang masih mereka anggap keturunan Sunan Giri, maka yang ditugasi melakukan penumpasan adalah Pangeran Pekik pemimpin Ampel. Pangeran Pekik sendiri telah dinikahkan dengan Ratu Pandansari adik Sultan Agung pada tahun 1633. Pemberontakan Giri Kedaton ini berhasil dipadamkan pasangan suami istri tersebut pada tahun 1636.

Akhir kekuasaan

Wilayah kekuasaan Kesultanan Mataram dalam masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645)
Pada tahun 1636 Sultan Agung mengirim Pangeran Selarong (saudara seayah Sultan Agung, putra Panembahan Hanyakrawati dan selir Lung Ayu dari Panaraga) untuk menaklukkan Blambangan di ujung timur Pulau Jawa. Meskipun mendapat bantuan dari Bali, negeri Blambangan tetap dapat dikalahkan pada tahun 1640.
Dalam masa Sultan Agung, seluruh Pulau Jawa sempat tunduk dalam kekuasaan Kesultanan Mataram, kecuali Batavia yang masih diduduki militer VOC Belanda. Sedangkan desa Banten telah berasimilasi melalui peleburan kebudayaan. Wilayah luar Jawa yang berhasil ditundukkan adalah Palembang di Sumatra tahun 1636 dan Sukadana di Kalimantan tahun 1622. Sultan Agung juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, negeri terkuat di Sulawesi saat itu.
Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar yang tidak hanya dibangun di atas pertumpahan darah dan kekerasan, namun melalui kebudayaan rakyat yang adiluhung dan mengenalkan sistem-sistem pertanian. Negeri-negeri pelabuhan dan perdagangan seperti Surabaya dan Tuban dimatikan, sehingga kehidupan rakyat hanya bergantung pada sektor pertanian.
Sultan Agung menaruh perhatian besar pada kebudayaan Mataram. Ia memadukan Kalender Hijriyah yang dipakai di pesisir utara dengan Kalender Saka yang masih dipakai di pedalaman. Hasilnya adalah terciptanya Kalender Jawa Islam sebagai upaya pemersatuan rakyat Mataram. Selain itu Sultan Agung juga dikenal sebagai penulis naskah berbau mistik, berjudul Sastra Gending.
Di lingkungan keraton Mataram, Sultan Agung menetapkan pemakaian bahasa bagongan yang harus dipakai oleh para bangsawan dan pejabat demi untuk menghilangkan kesenjangan satu sama lain. Bahasa ini digunakan supaya tercipta rasa persatuan di antara penghuni istana.
Sementara itu Bahasa Sunda juga mengalami perubahan sejak Mataram menguasai Jawa Barat. Hal ini ditandai dengan terciptanya bahasa halus dan bahasa sangat halus yang sebelumnya hanya dikenal di Jawa Tengah.

Wafatnya Sultan Agung

http://bits.wikimedia.org/static-1.23wmf7/skins/common/images/magnify-clip.png
Pintu masuk ke makam Sultan Agung di Pemakaman Imogiri di Imogiri, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia (foto tahun 1890).
Menjelang tahun 1645 Sultan Agung merasa ajalnya sudah dekat. Ia pun membangun Astana Imogiri sebagai pusat pemakaman keluarga raja-raja Kesultanan Mataram mulai dari dirinya. Ia juga menuliskan serat Sastra Gending sebagai tuntunan hidup trah Mataram.
Sesuai dengan wasiatnya, Sultan Agung yang meninggal dunia tahun 1645 digantikan oleh putranya yang bernama Raden Mas Sayidin sebagai raja Mataram selanjutnya, bergelar Amangkurat I.

Proses Perkembangan Kolonialisme dan Imperialisme Negara Barat
Pada pertengahan abad ke-15 perubahan politik, ekonomi, sosial terjadi di negara-negara Eropa dan Asia Barat. Hal ini mengakibatkan bangsa-bangsa Eropa keluar dari wilayahnya untuk mencari wilayah baru yang dirasa lebih menguntungkan.
Tujuan kedatangan orang-orang Eropa ke dunia Timur
Menguasai perdagangan rempah-rempah langsung dari sumbernya.
Menguasai wilayah strategis baik untuk perdagangan maupun basis militer.
Menguasai sebanyak mungkin kekayaan sumber daya suatu wilayah.
Turut campur dalam urusan politis suatu wilayah.
TERBENTUKNYA KOLONIALISME DAN IMPERIALISME BARAT DI BERBAGAI DAERAH
Kolonialisme
Adalah penguasaan suatu negara atas negara lain atau wilayah lain dengan maksud memperluas wilayah negara itu.
Imperialisme
Adalah sistem politik yang bertujuan menguasai negara lain untuk mendapatkan kekuasaan dan mencari keuntungan yang lebih besar.
Negara-negara Eropa yang mempunyai andalan dalam pembentukan dan mengembangkan kolonialisme dan imperialisme di Indonesia yaitu : Portugis, Belanda, Perancis dan Inggris.
1. Kolonilisme dan imperialisme Portugis di Indonesia
Portugis merupakan negara Eropa pertama yang datang di dunia Timur melalui jalan laut. Hal ini dapat dilihat dari :
Tahun 1486 Bartholomeus Dias berhasil mencapai Tanjung Harapan.
Tahun 1498 Vasco da Gama menginjakkan kaki di Calicut.
Tahun 1502 Alfonso d’Albuquerque menguasai pelabuhan Malaka. Merupakan langkah awal mengusai wilayah perdagangan dan pelayaran di Asia Tenggara.
Imperialisme Portugis adalah imperialisme kuno (ancient imperialisme) dengan semboyan 3G, yaitu Gold (emas), Gospel (agama), dan Glory (Kejayaan). Dalam proses perluasan kekuasaan, bangsa Portugis banyak mendapat perlawanan bangsa Indonesia. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :

Pertugis menjalankan sistem monopoli.
Portugis menyebarkan agama Katholik.
Portugis ikut campur tangan urusan dalam negeri.
Banyak pejabat Portugis yang melakukan korupsi.
Persaingan dengan bangsa Barat sendiri
Portugis menguasai Malaka, perdagangan Indonesia beralih ke Aceh. Minat Portugis menguasai melalui Aceh, tapi mendapat perlawanan oleh rakyat Aceh. Kemudian Portugis pergi ke Maluku Utara, saat itu terjadi peperangan antara Ternate + Portugis melawan Tidore + Spanyol yang dimenangkan oleh Ternate yang dibantu oleh bangsa Portugis.
Datanglah Spanyol yang dipimpin oleh Ferdinand Magelans (1519 – 1521) ke Filipina. Kemudian tahun 1521 Spanyol menduduki Maluku Utara dan bergabung dengan Tidore untuk mengimbangi Ternate dan Portugis.
Karena Spanyol dan Tidore telah kalan atas Portugis dan Ternate, maka muncullah perjanjian “Dessilas” yang intinya (1534) ekspedisi Spanyol hanya diijinkan sampai Maluku Utara, sedangkan penjelajahan Indonesia hanya boleh dilakukan Portugis. Pada tahun 1515 Portugis berhasil diusir oleh rakyat Ternate di bawah pimpinan Sultan Baabullah.
2. Kolonialisme dan imperialisme Belanda di Indonesia mulai dari ekspedisi untuk kapal dagang Belanda
Ekspedisi I dipimpin oleh Cornelist Van de Houfmant (1596) gagal, sebab mendapat perlawanan dari rakyat pesisir utara. Ekspedisi II pimpinan Jacob Van Heck, 2 tahu kemudian (1598) Banten berhasil sebab kedatangan Belanda dengan ramah, sopan terhadap rakyat Banten. Pada saat bersamaan Banten melawan Portugis dimanfaatkan oleh Belanda untuk menjalin kerjasama di bidang perdagangan. Setelah Belanda berhasil mendapatkan keuntungan besar, mereka pulang ke negeri asal dengan membawa hasil.
VOC merupakan perhimpunan dagang swasta Belanda. Kongsi ini mempunyai kewajiban membantu pemerintah Belanda untuk mendapatkan dana. Sebaliknya pemerintah Indonesia perlu memberikan VOC hak-hak istimewa. Hak Actrroi (hak paten) yaitu :
- Hak monopoli perdagangan
- Hak memiliki angkatan perang berperang
Tujuan didirikannya VOC adalah :
Menghilangkan persaingan yang akan merugikan para pedagang Belanda.
Menyatukan tenaga untuk menghadapi saingan dari bangsa Portugis dan pedagang-pedagang lainnya di Indonesia.
Mencari keuntungan sebesar-besarnya untuk membiayai perang melawan Spanyol.
Langkah pertama VOC untuk mencapai tujuanya adalah :
Merebut Maluku dari tangan Portugis
Tahun 1605 VOC berhasil merebut benteng Portugis di Ambon yang kemudian sampai rentang Victoria. Peristiwa ini menjadi tonggak penjajahan Belanda di Indonesia.
Tahun 1609 VOC mengangkat Pieter Both sebagai Gubernur Jendral I sampai mengikat perjanjian dengan penguasa di Maluku seperti : Hitu, Banda dan Haruku. Dan selalu mencantumkan hak monopoli perdagangan VOC dan pengakuan VOC terhadap kedaulatan pengusaha-pengusaha setempat.
VOC mengikat Jayakarta dengan usaha mendirikan pusat kekuasaan dan pemerintahan di wilayah itu. Di bawah pimpinan Jan Peter Zoon Coen. Jayakarta diserang dan dibakar kemudian pada tahun 1619 berubah menjadi kota baru Batavia.
Mulai saat itu VOC dapat menghargai segala gerak-gerik pelayaran di Selat Sunda dan Selat Malaka. VOC juga semakin konsolidasi dalam upaya menaklukkan seluruh wilayah Indonesia.
Kekuatan VOC di Mataram
- Pada pemerintahan Sultan Agung (1613 – 1645)
Berkeinginan untuk menyatukan daerah-daerah di pulau Jawa tetapi dihalangi oleh VOC di Batavia. Tahun 1628 serangan I dipimpin oleh Tumenggung Bahurekso.
- Tahun 1629 Mataram melakukan serangan II berhasil merebut benteng Holandia.
- Sultan Agung wafat diganti oleh Sultan Amangkurat I (1645 – 1677)
Lemah dan kejam terhadap rakyat, lebih condong dan bersahabat dengan VOC. Mendapat perlawanan dari bupati Madura Trunojoyo, Amangkurat I terdesak kemudian putranya Adipati Anom meminta bantuan VOC. Perlawanan tidak seimbang, Trunojoyo berhasil ditangkap dan tewas di tangan Amangkurat II (1679) di Kediri.
- Selama Mataram di bawah kekuasaan VOC, banyak perlawanan bermunculan termasuk dari Untung Suropati yang tidak tega melihat bangsanya diperlakukan sewenang-wenang.
- Tahun 1703 Amangkurat II wafat diganti putranya Sunan Mas (Amangkurat III).
Tidak diakui kekuasannya oleh VOC karena VOC lebih suka Pangeran Puger yang kemudian berhasil merebut tahta Mataram dan diberi gelar Pakubuwono I. Tahun 1708 Sultan Mas ditangkap dan dibuang ke Srilangka.
- Pada pemerintahan Pakubuwono II, campur tangan VOC semakin merugikan Mataram, muncul perlawanan dari kemenakan dan adik Pakubuwono II, yaitu Mas Said dan Pangeran Mangkubumi dengan taktik gerilya.
- VOC behasil dikalahkan di tepi sungai Bogowonto. Komandan VOC Mayor De Clark terbunuh. Saat perang berlangsung tahun 1749. Pakubuwono II wafat dan diganti Pakubuwono III.
- Perjanjian Giyanti adalah perjanjian antara Pangeran Mangkubumi dengan VOC pada tahun 1955. isi perjanjian tersebut antara lain :
1) Mataram Timur diberikan pada Pakubuwono II dengan ibukota Surakarta.
2) Mataram Barat diberikan pada pengaran Mangkubumi (Hamengku buwono I) dengan ibukota Yogyakarta.
3. Pemerintahan Hindia Belanda
Melalui konferensi London (1814) Inggris mengembalikan emua daerah kekuasaan Belanda yang pernah dikuasai Inggris. Sejak saat itu, Belanda kembali berkuasa di Indonesia. Kebijakan yang dilakukan pemerintah Hindia-Belanda dalam bidang ekonomi adalah menyelenggarakan “Sistem tanam paksa” tau Culture Stelsel (Awang Cultur) yang berlangsung selama 40 tahun (1830 – 1870).
Sistem tanam paksa ini diusulkan oleh Johanes Van den Bosh Gubernur Jendral Hindia-Belanda pada tahun 1830 – 1833. hakikat dari sistem tnam paksa atau cultur stelsel adalah bahwa penduduk sebagai ganti membayar pajak tanah sekaligus, harus menyediakan sejumlah hasil bumi yang nilainya sama dengan pajak tanah itu.
Sebab diadakan tanam paksa antara lain :
Hutang yang ditanggung pemerintahan Hindia-Belanda dari VOC sebanyak 136,1 jiwa (Gulden) merupakan beban berat.
Pemasukan uang kas ke negara lain dengan jalan penanaman kopi, landrete ataupun dengan cara lain yang tidak banyak memberi hasil.
Perang jiwa (1825 – 1830) banyak memakan biaya.
Tujuan tanam paksa adalah untuk memasukkan uang ke kas negara sebagai hutang dan dapat dibayar dan keperluan pemerintah Belanda termasuk biaya perang dapat dicukupi.
Cara yang ditempuh ialah memaksa penduduk menanami sebagian tanahnya dengan tanaman yang laku di pasaran Eropa, seperti : kopi, gula, kaps, gandum, cengkih, nila, teh, tembakau, kayu manis dan sebagainya. Biaya hasil bumi yang dipaksa untuk ditanam adalah berupa hasil bumi yang biasanya diekspor ke pasaran Eropa, dan dari ekspor tersebut pemerintah mengharapkan keuntungan yang besar.
Tanam paksa dilaksanakan terutama di Jawa karena daerahnya sudah terbuka, tenaga kerja cukup dan struktur pemerintah feodal memudahkan pelaksanaan. Di Sumatera Barat dan Sulawesi Utara juga dilakukan tanam paksa tetapi tidak seberat di Jawa.
Ciri-ciri pemerintahan feodal di Jawa antara lain :
Raja adalah dewa pemilik tanah atau dunia.
Petani hanya sebagai penggarap tanah.
Hubungan antara raja dan bangsawan dengan rakyat dalam bentuk patron dan client.
Ikatan raja dengan petani berdasarkan kepercayaan suci.
Kebudayaan kesatria (wayang) yang dipengaruhi Hindu dan Islam mirip unsur pokok kebudayaan Jawa.
Pelaksanaan tanam paksa menimbulkan banyak reaksi, antara lain sebagai berikut :
Tindakan menentang tanam paksa oleh golongan penguasa swasta Belanda yang menghendaki kebebasan berusaha di Indonesia.
Tindakan menentang tanam paksa oleh perseorangan yang memiliki jiwa kemanusiaan, seperti :
Barron Van Hoevel seorang pendeta yang pernah tingal di Indonesia.
Edward Dovwes Dekker (1820 – 1887) pejabat Belanda yang pernah menjadi asisten residen Lebak (Banten) dengan memasuki nama samaran “Multatuli” yang berarti aku telah banyak menderita.